Ads Top

Misteri Ukuran Lubang Hitam Terungkap Berdasarkan Pola Makannya


Lubang hitam adalah salah satu jenis objek yang paling misterius di alam semesta. Bentuk dan ukuran dari sejumlah lubang hitam yang pernah ditemukan oleh para astronom, masih menjadi misteri hingga saat ini.

Dalam laporan sebuah studi terbaru, para astronom mengatakan bahwa pola makan lubang hitam telah memberikan wawasan kepada mereka mengenai ukuran lubang hitam tersebut. Laporan studi baru ini mengungkapkan bahwa kedipan cahaya yang teramati pada lubang hitam supermasif yang aktif memakan objek-objek lain di sekitarnya, ternyata terkait dengan massanya.

Lubang hitam supermasif memiliki ukuran jutaan hingga miliaran kali lebih masif atau lebih besar daripada matahari dan biasanya berada di pusat galaksi masif. Saat tidak aktif dan tidak memakan gas dan bintang yang mengelilinginya, lubang hitam supermasif ini hanya memancarkan cahaya yang sangat sedikit.

Satu-satunya cara para astronom dapat mendeteksi sejumlah lubang hitam itu adalah melalui pengaruh gravitasi objek-objek raksasa tersebut pada bintang dan gas di sekitarnya. Namun, di alam semesta awal, ketika sejumlah lubang hitam supermasif berkembang pesat, mereka secara aktif memakan --atau menambah-- material mereka dengan kecepatan intensif dan memancarkan radiasi dalam jumlah besar. Terkadang, pancaran radiasi mereka melebihi seluruh galaksi tempat mereka tinggal, kata para peneliti.

Studi baru yang mengungkap ukuran lubang hitam berdasarkan pola makannya ini dipimpin oleh Colin Burke, mahasiswa pascasarjana astronomi dari University of Illinois Urbana-Champaign, dan profesornya, Yue Shen. Studi ini mengungkap hubungan definitif antara massa lubang hitam supermasif yang secara aktif memakan objek-objek lain di sekitarnya dan skala waktu karakteristik dalam pola kedipan cahaya lubang hitam tersebut. Laporan studi ini telah dipublikasikan di jurnal Science pada 13 Agustus 2021.

Cahaya yang teramati dari lubang hitam supermasif yang terus bertambah besar ini tidaklah konstan. Karena proses fisik yang belum dipahami, lubang hitam ini menampilkan kedipan cahaya di mana-mana dalam rentang waktu mulai dari berjam-jam hingga beberapa dekade.

“Ada banyak penelitian yang mengeksplorasi kemungkinan hubungan kedipan yang teramati dan massa lubang hitam supermasif tersebut, tetapi hasilnya tidak meyakinkan dan terkadang kontroversial,” kata Burke.

Dalam studi baru ini, tim peneliti mengumpulkan kumpulan data besar dari sejumlah lubang hitam supermasif yang memakan secara aktif untuk mempelajari pola variabilitas kedipannya. Mereka mengidentifikasi skala waktu karakteristik, di mana polanya berubah, yang berkorelasi erat dengan massa sejumlah lubang hitam supermasif itu.

Para peneliti kemudian membandingkan hasilnya dengan akumulasi katai putih, sisa-sisa bintang seperti matahari kita, dan menemukan bahwa hubungan skala waktu-massa yang sama juga berlaku. Namun, ukuran katai putih itu jutaan hingga miliaran kali lebih kecil daripada lubang hitam supermasif.

Kedipan cahaya adalah fluktuasi acak dalam proses makan lubang hitam, kata para peneliti. Para astronom dapat mengukur pola kedipan ini dengan mengukur kekuatan variabilitas sebagai fungsi rentang waktu.

Untuk akresi lubang hitam supermasif, pola variabilitasnya berubah dari rentang waktu pendek ke rentang waktu yang panjang. Transisi pola variabilitas ini terjadi pada skala waktu karakteristik yang lebih panjang untuk lubang hitam yang lebih masif.

Tim membandingkan pola makan lubang hitam dengan aktivitas makan atau minum kita dengan menyamakan transisi ini dengan sendawa manusia. Bayi sering bersendawa saat minum susu, sementara orang dewasa dapat menahan sendawa untuk waktu yang lebih lama. Lubang hitam melakukan hal yang sama saat makan, kata mereka.

“Hasil ini menunjukkan bahwa proses yang mendorong kedipan selama akresi bersifat universal, apakah objek pusatnya adalah lubang hitam supermasif atau katai putih yang jauh lebih kecil,” kata Shen.

“Pembentukan hubungan yang kuat antara kedipan cahaya yang teramati dan sifat dasar akretor tentu akan membantu kita lebih memahami proses akresi,” kata Yan-Fei Jiang, seorang peneliti di Flatiron Institute yang turut menulis laporan studi ini, seperti dilansir EurekAlert.

No comments:

Powered by Blogger.