Suku Taino, DNA Penyintas Zaman Kedatangan Colombus di Amerika
“Telanjang seperti hari mereka dilahirkan," demikian tulis Christopher Colombus—yang bernama sejati Cristoforo Colombo—dalam suratnya. Ketika itu dia dan awak kapalnya bertemu dengan orang-orang Taino di Pulau Guanahani, San Salvador, Bahama pada 1492.
Taino memiliki sistem hierarkis keagamaan, politik, dan sosial yang kompleks. Petani dan navigator yang terampil, mereka menulis musik dan puisi dan menciptakan objek ekspresif yang kuat. Pada saat penjelajahan Columbus, suku Taino adalah penduduk asli Karibia yang paling banyak. Mereka mendiami tempat yang sekarang disebut Kuba, Jamaika, Haiti, Republik Dominika, Puerto Riko, dan Kepulauan Virgin.
Kedatangan Colombus begitu berdampak pada nasib warga setempat pada masa-masa berikutnya. Sejarah kawasan ini pun sering dibagi menjadi dua oleh para sejarawan: yakni, prakedatangan Colombus dan pascakedatangan Colombus.
Pada 1550, orang Taino hampir punah. Banyak dari mereka yang menyerah pada penyakit yang dibawa oleh orang Spanyol. Namun, pengaruh tradisi dan kebudayaan Taino bertahan. Hari ini semangat mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi muncul dalam kepercayaan, agama, bahasa, dan musik budaya Karibia.
Kombinasi penyakit, pembunuhan massal dan perbudakan memang telah membunuh sekitar tiga juta orang dalam generasi-generasi awal saat kedatangan Colombus. Namun demikian, studi terbaru menunjukkan bahwa genosida tidak menyebabkan kepunahan seperti yang selama ini diperkirakan.
Para peneliti menggunakan gigi seorang wanita yang ditemukan di sebuah gua di pulau Eleuthera di Bahama untuk mengurutkan genom manusia purba lengkap pertama dari Karibia. Wanita itu hidup di beberapa titik kemungkinan antara abad ke-8 dan ke-10, setidaknya 500 tahun sebelum Columbus mendarat di Bahama.
Hasilnya memberikan wawasan yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang susunan genetik Taíno. Temuan ini termasuk bukti pertama yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa tingkat kesinambungan antara masyarakat adat Karibia dan komunitas kontemporer yang tinggal di wilayah tersebut saat ini.
Peneliti membandingkan genom Bahama kuno dengan orang-orang Puerto Rico kontemporer, kemudian mereka menemukan bahwa genom Bahama kuno lebih erat kaitannya dengan Taino kuno daripada kelompok asli lainnya di Amerika. Namun demikian, para peneliti berpendapat bahwa karakteristik ini tidak mungkin eksklusif untuk Puerto Rico saja. Mereka juga yakin bahwa penelitian di masa depan akan mengungkapkan warisan genetik serupa di komunitas Karibia lainnya.
Temuan ini dipublikasikan pada 2018 dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences dengan judul Origins and genetic legacies of the Caribbean Taino
Para ilmuwan telah menemukan DNA yang sama pada masyarakat kuno dan yang masih hidup sekarang di Karibia. “Itu menunjukkan kisah nyata mengenai asimilasi, jadi tidak mengalami kepunahan total,” kata Jorge Estevez dari National Museum of the American Indian kepada Sarah Gibbens untuk National Geographic.
Bagi Estevez yang memeriksa penelitian ini, hasilnya sangat personal. Selama ini, neneknya selalu mengatakan bahwa budaya Taino masih ada hingga sekarang. Dan itu berhasil dibuktikan dengan adanya penelitian terbaru tersebut.
Mengulik ke belakang
Hannes Schroeder adalah pemimpin penelitian yang sudah mempelajari wilayah tersebut lebih dari satu dekade. Arkeolog yang menekuni genomik kuno, bioarkeologi, ekologi mikroba di Globe Institute Faculty of Health and Medical Sciences, University of Copenhagen, Denmark. Penelitiannya berfokus pada penerapan isotop dan analisis DNA kuno dalam arkeologi. Dan, dia begitu berminat dalam arkeologi Karibia.
“Kami menunjukkan bahwa nenek moyang dari apa yang disebut "Taino" yang mendiami sebagian besar Karibia pada zaman pra-Columbus berasal dari Amerika Selatan bagian utara,” ungkap Schroeder dalam jurnal itu yang dilansir National Geographic.
Dia menambahkan, “Kami menemukan bukti bahwa mereka memiliki ukuran populasi efektif yang relatif besar. Kami juga menunjukkan bahwa komponen asli di beberapa genom Karibia modern terkait erat dengan Taino kuno, yang menunjukkan bahwa nenek moyang asli di wilayah tersebut telah bertahan hingga hari ini.”
Schroeder mengatakan bahwa memang banyak masyarakat setempat yang bersikeras mengenai nasib dan kelanjutan hidup Taino, meskipun mereka telah diberitahu bahwa nenek moyangnya sudah punah.
Oleh karena itu, untuk melihat apakah masih ada populasi Taino yang tersisa, tim peneliti harus mendeteksi keberadaan materi genetika dari orang-orang Karibia pada masa kedatangan Colombus.
Kepunahan sebuah etnis terjadi ketika, “semua anggota kelompoknya telah mati dan tidak bisa lagi mewariskan materi genetiknya,” kata Schroeder.
Studi sebelumnya pernah menunjukkan adanya kontinuitas Taino, namun penelitian ini lah yang pertama kali menggunakan DNA sehingga hasilnya lebih meyakinkan. Para peneliti mendapatkan DNA tersebut dari kerangka gigi perempuan berusia seribu tahun di Bahama.
Mereka lalu membandingkan urutan genom kerangka tersebut dengan data populasi Karibia yang ada saat ini. Hasilnya menunjukkan bahwa DNA kuno itu memiliki kemiripan dengan kelompok berbahasa Arawak di Karibia. Pada masa kini, gen suku Taino banyak ditemukan pada wilayah Puerto Rico.
Migrasi kuno
Untuk menemukan bukti tambahan bagaimana Taino berhasil bertahan dari kolonisasi Eropa, Schroeder juga mampu mengumpulkan informasi mengenai adanya migrasi kuno.
Hubungan Taino dengan Amerika Selatan menandakan bahwa migrasi kuno bermula dari sana. Kepulauan Karibia merupakan satu dari daerah terakhir yang menetap di Amerika, sekitar delapan ribu tahun yang lalu. Ketika bermigrasi, masyarakat purba mungkin membawa jaringan sosialnya dengan mereka.
”Kami tidak memiliki adanya [temuan] perkawinan sedarah,” ujar Schroeder kepada Susan Gibbens untuk National Geographic. Ini mendukung bukti arkeologi bahwa budaya asli di wilayah tersebut saling terkait.
Dengan kemampuan yang lebih baik untuk mengurutkan DNA manusia purba, Schroeder yakin, peneliti bisa melacak kelanjutan hidup suku lain yang dianggap sudah punah.
Colombus yang Keras Kepala
Christopher Colombus bukanlah seorang yang jago ilmu perbintangan. Lelaki asal Italia yang keras kepala ini juga bukan orang Eropa pertama yang menyeberangi Samudra Atlantik. Namun, dia dikenang sebagai penemu “Dunia Baru” yang memisahkan “Dunia Lama”.
Sejatinya, tujuan pelayaran Colombus bukan untuk mencari “Dunia Baru”. Bukan pula untuk membuktikan bumi itu bulat. Dia bertujuan menemukan rute laut menuju daratan yang sudah diketahui letaknya: kawasan Timur Jauh.
Pada 12 Oktober 1492, setelah dua bulan berlayar dari Palos-Spanyol, Colombus melihat daratan—kini Kepulauan Bahama, Amerika Selatan. Setiap tahunnya, hari pendaratan Colombus tadi menjadi hari libur nasional di Spanyol.
Colombus memberi toponimi untuk daratan yang baru dijejaknya dengan nama San Salvador. Suku aslinya bernama Taino—ada pula yang berpendapat Arawak—namun lantaran Colombus sangat yakin bahwa pelayarannya telah sampai ke India, dia pun menyebut mereka sebagai “Indian”.
Colombus memang penjelajah renaisans yang keras kepala. Setelah menghadap bangsawan Barcelona pada 1493, dia pun berlanjut menjelajahi lautan dengan tiga pelayaran berikutnya ke Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah.
Setiap tahunnya, hari pendaratan Colombus dirayakan sebagai hari libur nasional di Spanyol. Namun, ironisnya, kelak orang juga mengenang pendaratan itu sebagai titik awal pembantaian besar-besaran pribumi Amerika.
No comments: