Ads Top

Beginilah Penampakan Anak Krakatau Via Satelit: Gunung Anak Krakatau Pasca Tsunami Selat Sunda Akibat Tanah Longsor di Kaki Gunungnya


Peristiwa tsunami di Selat Sunda akibat letusan Gunung Anak Krakatau pada Sabtu 22 Desember 2018 pukul 21:00 WIB, adalah akibat tanah longsor di kaki gunung Anak Krakatau pada sisi barat-barat daya.

Tanah yang longsor sebesar 64 hektar ini membuat seluruh bidang tanah itu tiba-tiba merosot, anjlok dan membentur air di pantai dan terus merangsak ke dalam permukaan laut dibagian bawahnya dengan begitu cepat dan keras.

Ketika secara cepat tanah sebanyak itu longsor ke laut, air tersingkir dan membuat celah tepat ditengah tanah longsor tersebut, dan seketika itu juga, air laut mengisi celah kosong yang luas itu dengan cepat, dan kemudian membuat gelombang besar diatasnya.

Penampakan Gunung Anak Krakatau via satelit sebelum terjadi tanah longsor yang menyebabkan tsunami 22 Desember 2018.

Momentum inilah sebagai asal muasal gelombang tsunami tak diduga atau “the silent tsunami” yang akhirnya terbentuk di Selat Sunda pada 22 Desember 2018, yaitu akibat tanah longsor yang disebut sebagai “Landslide Tsunami” atau Tsunami Akibat Tanah Longsor, dalam hal ini longsor di kaki gunung api tengah laut.

Gelombang besar yang terbentuk akibat tanah longsor itu kemudian meluncur ke segala arah secara diam-diam dan tak terdeteksi (silent tsunami), menuju ke tepi pantai di seluruh Selat Sunda, termasuk di sepanjang pantai Pulau Jawa bagian barat (Provinsi Banten) dan juga di Pulau Sumatera bagian selatan (Provinsi Lampung).

Akibat terjadinya tanah longsor yang mengakibatkan tsunami atau Landslide Tsunami, maka Pulau Anak Krakatau yang dulu tingginya sekitar 303 meter, kini amblas hanya sekitar 160 meter saja dari permukaan laut.

Penyebab Tsunami Selat Sunda

Ada beberapa proses di mana letusan gunung berapi dapat memicu tsunami. Aliran piroklastik dalam jumlah besar yang memasuki laut, ledakan bawah laut dan longsor di sisi gunung. Sebuah gunung berapi dapat tumbuh dengan cepat melalui aliran lava, dan pertumbuhan ini dapat menciptakan ketidakstabilan, sehingga letusan kecil dapat memicu kolaps atau tanah longsor.

Tanah longsor inilah yang memantik gelombang besar yang mampu menciptakan tsunami. Longsor subaerial kecil dapat menghasilkan longsor bawah laut yang lebih besar.

Menurut beberapa saksimata, sebelum terjadinya tsunami, memang sempat terdengar dentuman keras dari laut. Selain itu pula, bencana menerpa tanpa adanya peringatan dini dari sensor tsunami.

Dari pengamatan IndoCropCircles, Gunung Anak Krakatau sebagai penyebab “silent tsunami” di Selat Sunda pada 22 Desember 2018, diantara pemicu yang mendukungnya ada beberapa faktor, diantaranya adalah:

  • Sebelumnya terjadinya letusan signifikan, letusan yang bertubi-tubi telah terjadi sebelumnya, puncaknya yaitu pada bulan Oktober-November 2018, yang membuat kerucut gunung semakin tinggi.
  • Terjadi letusan-letusan masif atau besar sebelum terjadinya tsunami, membuat kerucut gunung menjadi tinggi secara cepat dan terjadi ketidak-stabilan pada permukaan tanah yang semakin miring di kaki gunung.
  • Terjadinya getaran (tremor) yang signifikan, membuat bidang kerucut dari puncak hingga kaki gunung menjadi bergetar ratusan kali dan membuatnya semakin tidak stabil.
  • Kerucut gunung tak stabil, akibat terjadinya letusan besar bertubi-tubi, getaran ratusan kali, hujan deras, air pasang dan gelombang tinggi, membuat permukaan bidang miring dari puncak hingga kaki gunung pada kerucut tidak lagi stabil.
  • Hujan deras dan lama di tempat kejadian, membantu tanah di pulau yang tidak stabil menjadi lebih tidak stabil.
  • Bulan purnama membuat air laut naik (pasang), maka permukaan bidang pada kaki gunung yang biasanya tak terkena air, menjadi di bawah permukaan air laut. Otomatis, sedimen yang tak padat menjadi lebih padat akibat terendam air dan membuat sedimen menurun dan terjadi longsoran.
  • Ombak besar, ombak besar terjadi karena sedang terjadi pasang laut, menjadi salah satu “penggerak” tanah yang miring tergeser sedikit demi sedikit. dan terjadi longsoran.
  • Iklim yang lebih hangat, letusan yang bertubi-tubi membuat bidang permukaan kaki gunung menjadi hangat akibat material panas yang bertumpuk bercampur dengan dinginnya material dibawahnya menjadi retak atau membengkak, dan ditambah hujan, membuat permukaan mengembang kemudian terjadi retakan-retakan.

Longsor terjadi tak hanya faktor-faktor diatas, namun sudah pasti, karena tanah akan mencari titik kestabilan ketika mulai tak lagi stabil akibat material yang dikeluarkan terus menumpuk, dan menumpuk, dan terus menumpuk. Secara ringkas, dapat dicontohkan jika kita membuat gundukan pasir.

Pulau Gunung Api Anak Krakatau (Child of Krakatau) tampak berasap, berada di tengah dari tiga “pulau bekas” letusannya pada tahun 1883.

Jika kita membuat gundukan pasir yang makin tinggi dan semakin tinggi dengan menambahkan pasir di atas gundukan secara terus-menerus, mengibaratkan sebagai material yang keluar dan menumpuk di atas puncak gunung, maka bidang kerucut menjadi mancung. Kondisi ini akan membuat gundukan pasir menjadi tidak stabil.

Untuk membuat kestabilan alami, maka pasir pada bidang tengah hingga ke bawah kerucut, dengan sendirinya akan longsor untuk membuatnya menjadi stabil kembali dan material diatasnya akan menyesuaikan.

Dengan begitu, bidang bawah akan terus melebar dan melebar, namun setelah terjadi longsor, kestabilan akan didapat, dan bidang atas akan dapat kembali diisi oleh material-material baru yang berasal dari perut bumi.

Hal ini akan terus terjadi hingga kerucut menjadi mancung kembali dan akan mencari kestabilan alamiahnya, maka suatu saat nanti permukaan bidang miring pada sisi kerucut akan longsor kembali untuk mencari kestabilan itu, begitu seterusnya, hingga pulau gunung api menjadi meluas dan semakin membesar.

Landslide Tsunami Akan Terjadi Lagi

Lokasi sensor di Gunung Anak Krakatau.

Pada pukul 21:03 WIB (14:03 UTC), Anak Krakatau meletus dan merusak peralatan seismografi terdekat, meskipun suatu stasiun lain mendeteksi getaran terus-menerus.

Pada pukul 21:27 WIB, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mendeteksi suatu tsunami di pesisir barat Banten, meskipun tidak ada peristiwa tektonik.

Sekitar 400 rumah di Pandeglang yang terletak di dekat pantai roboh atau rusak berat akibat tsunami.

Selain itu, 9 hotel di Pandeglang dan 30 rumah di Lampung Selatan juga rusak berat. Jalan raya yang menghubungkan Serang dan Pandeglang terputus.

Tsunami adalah peristiwa global dengan konsekuensi global. Ilmuwan terus mengembangkan jaringan global sistem peringatan berdasarkan analisis seismik real-time dan sensor gelombang laut dalam. Alarm akan berbunyi segera beberapa detik setelah inisiasi tsunami walau kecil sekalipun.

Landslide tsunami by active volcano animation.

Tsunami tanah longsor dapat terjadi selama periode permukaan laut yang tinggi dan ketika iklim hangat. Itulah mengapa kita tidak tahu kapan terjadi, tetapi kita berada di periode hangat sekarang dan dengan permukaan laut yang tinggi, jadi kita harus menunggu kemungkinan seperti ini dalam 10 atau 20.000 tahun ke depan, atau mungkin hari esok.

Landslide tsunami atau tsunami tanah longsor menggabungkan kekuatan Bumi yang hampir tak terbatas dengan pikiran lautan yang bagai raksasa. Mereka selalu mengingatkan akan kekuatan alam yang luar biasa.

Sementara itu para ilmuwan mempelajari tentang tsunami, insinyur membangun penghalang pantai yang lebih kuat, dan para ahli menerapkan sistem peringatan yang lebih baik, kewaspadaan individu tetap penting.

Bencana tsunami adalah sesuatu yang harus kita tanamkan dalam budaya kita, dalam basis pengetahuan kita, dan dalam pendidikan kita, sehingga kita tahu apa yang harus dilakukan ketika tsunami terjadi.

Ini bukan masalah jika terjadi lagi, tapi ketika terjadi lagi, apa yang harus dilakukan adalah sesuatu yang perlu kita pelajari untuk dapat hidup bersamanya. Selama fenomena bahwa gelombang besar terus berlanjut, kita akan memiliki tsunami, dan itu hanya masalah waktu saja, sebelum yang berikutnya menyerang.

Anak Krakatau via Satelit Pasca Tsunami Selat Sunda Akibat Longsor. Anak Krakatau yang dulu tingginya sekitar 303 meter, kini amblas hanya sekitar 160 meter saja dari permukaan laut. (pict: JAXA)

Tsunami Selat Sunda di Pantai Carita Banten Hingga 5,26 Meter

Tim Tanggap Darurat Badan Geologi menyusuri jejak tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018. Hasilnya antara lain ketinggian tsunami yang terukur di Pantai Carita mencapai 5,26 meter. Sedangkan rendaman tsunami di darat yang tertinggi 3,9 meter di daerah Sumur, Sumberjaya.

Tim berjumlah tiga orang menyusuri daerah pesisir Banten selama lima hari sejak 24-28 Desember 2018. Hasil pengamatan dan pengukuran dampak tsunami tercatat menjadi 36 titik lokasi.

Tim mendata empat komponen, yaitu flow depth (FD) atau ketinggian rendaman tsunami di darat. Tsunami height (TH) atau ketinggian tsunami di garis pantai. Kemudian run up distance (RD) atau jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, serta run up height (RH) atau ketinggian tsunami di daratan.

Hasil pengukuran landaan tsunami di Kabupaten Pandeglang dan Serang

Namun ketinggian tsunami di garis pantai dan daratan (TH dan RH) cukup sulit untuk diukur secara langsung di lapangan. Karena itu, tsunami tertinggi bisa jadi ada di titik lain selain Pantai Carita.

Tim di lapangan hanya dapat mengukur langsung melalui pengamatan jejak tsunami seperti di pohon atau bangunan, water mark di dinding, juga ranting pohon yang patah.

Petunjuk itu untuk mencatat ketinggian rendaman tsunami di darat dan jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat.

Nilai ketinggian rendaman tsunami di darat, dan ketinggian tsunami di garis pantai, serta jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, tergantung dari karakteristik pantai dan adanya bangunan penghalang ombak.

Pantai landai tanpa adanya dinding penahan pantai akan lebih jauh jarak landaan tsunaminya dibandingkan pantai dengan dinding penahan pantai atau pantai terjal.

Data ketinggian tsunami di darat dan jarak landaan terjauh tsunami ke arah darat, sangat penting untuk tahapan berikutnya, yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Juga dalam menentukan jalur hijau atau zona sempadan pantai, perencanaan pembuatan dinding penahan pantai (sea wall), perencanaan penataan ruang ke depan, dan penyusunan peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami (KRBT) dengan sumber pembangkit longsoran akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

Hasil data juga dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi dalam perencanaan mitigasi bencana tsunami ke depan.

Mengapa banyak korban dan dampak yang  besar akibat tsunami di Selat Sunda wilayah Banten

Banyaknya korban dan dampak besar di Selat Sunda wilayah Banten, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama adanya acara yang membuat berkumpulnya banyak orang seperti kegiatan gathering PT PLN dan Kemenpora di Resort Tanjung Lesung. Kemudian adanya kegiatan pasar malam di Kota Kecamatan Sumur.

Selain itu, bangunan penahan ombak tsunami seperti sea wall, retaining wall, vegetasi, terhitung minim. Faktor lain yaitu kedatangan tsunami yang seketika tanpa didahului oleh tanda-tanda, termasuk tidak ada peringatan dini, maupun tidak ada susut laut.

Kawasan pesiisir banten yang porak poranda dilanda tsunami.

Banyaknya bangunan dan tempat aktivitas manusia di kawasan rawan bencana tsunami, penataan ruang di kawasan pantai Selat Sunda dinilainya tanpa mempertimbangkan potensi bencana tsunami. “Masyarakat juga tidak siap menghadapi bencana tsunami terutama bersumber longsoran akibat erupsi gunungapi Anak Krakatau.”

Pada 22 Desember 2018 pukul 21.30 WIB telah terjadi tsunami yang melanda daerah Selat Sunda. Kejadian tsunami tersebut mengakibatkan bencana di Provinsi Banten dan Lampung. Menurut data BNPB tanggal 29 Desember 2018, kejadian tsunami tersebut mengakibatkan 431 orang meninggal, 15 orang hilang, 7.200 orang luka-luka dan 46.646 orang mengungsi.

Harus Dilakukan Penelitian Mendalam Di Daerah Rawan Bencana

Sejauh ini, terjadinya tsunami di Indonesia, justru banyak menarik ratusan ilmuwan dunia dibanding sedikitnya ilmuwan Indonesia. Mereka meneliti kegiatan gunung-gunung api di Indonesia, gempa-gempa di Indonesia hingga tsunami-tsunami yang terjadi di Indonesia.

Mereka meneliti kapan gunung-gunung api besar yang pernah meletus, kapan waktu meletusnya di masa lalu, juga tsunami-tsunami pernah terjadi di masa lampau, apa akibatnya, sekaligus memberi peta kerawanan suatu daerah akan bahaya bencana-bencana terkait yang akan terjadi di kemudian hari.

Kawasan Pulau Sebesi Lampung yang porak poranda dilanda Tsunami Selat Sunda pada Sabtu malam 22 Desember 2018.

Hal ini dapat dilakukan dengan penggalian-penggalian di pesisir pantai pada gua-gua tua, dimana terdapat lapisan-lapisan tanah atau pasir di dalam gua-gua di pesisir pantai. Para ilmuwan memilih gua karena lebih steril dan tak tersentuh tangan-tangan manusia.

Seperti Tsunami Banda Aceh silam, tanah pada dasar gua-gua diteliti, dilihat lapisan-lapisan (layer) yang terjadi pada tanah tersebut dan mengambil contoh tanah untuk uji radio-karbon guna mengetahui kapan bencana tersebut terjadi. (baca: Ditemukan: Gua Yang Mengungkap Sejarah Tsunami di Aceh)

Seharusnya ilmuwan-ilmuwan Indonesia harus melakukan hal yang sama di sepanjang garis pantai, dari Aceh bagian barat, terus ke arah selatan Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat hingga Nusa Tenggara Timur.

Lokasi itu adalah titik pantai terdekat dari pertemuan atau benturan antara dua lempeng Samudra Hindia dan lempeng Eurasia dimana sepanjang garis itu membuat pegunungan yang membentang ribuan kilometer. Di Sumatra dikenal sebagai Pegunungan Barisan. Dan pegunungan sepanjang dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur itu dikenal sebagai “Indonesian Volcanic Arch” atau “busur vulkanis Indonesia”.

Para ilmuwan meneliti sejarah tsunami di daerah Aceh yang ternyata sudah terjadi sejak masa lampau dengan menggali tanah di dalam gua-gua di daerah pesisir Aceh. Ternyata tsunami di Aceh sudah terjadi berkali-kali sejak 7500 sampai 3000 tahun yang lalu. (pict: EOS). (baca: Ditemukan: Gua Yang Mengungkap Sejarah Tsunami di Aceh)

Uni Eropa Aktifkan Satelit Copernicus Bantu Indonesia Tangani Tsunami

Tsunami tanah longsor pernah terjadi beberapa kali sebelumnya, seperti di Alaska, namun di Alaska bukan karena gunung api melainkan tanah longsor akibat salju mencair dan membuat tanah tak stabil untuk kemudian longsor ke laut dan membuat tsunami yang sangat besar (mega tsunami), juga runtuhnya Pulau Ritter tahun 1888 dan di gunung Stromboli yang ada di Italia.

Berbeda dengan tsunami Selat Sunda akibat gunung api, maka hal ini menarik perhatian para peneliti dunia, tak terkecuali dari Uni Eropa. Benua Biru itu menyatakan mereka siap untuk membantu Indonesia jika dibutuhkan, termasuk lewat teknologi satelit dan pengiriman pakar urusan kemanusiaan.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Presiden serta Komisioner untuk Bantuan Kemanusiaan dan Manajemen Krisis Uni Eropa melalui situs resmi Uni Eropa. Uni Eropa akan selalu mendukung pemerintah dan masyarakat Indonesia di tengah musibah ini.

Teknologi pemetaan satelit Copernicus telah diaktifkan. Sebelumnya, Uni Eropa juga telah mengaktifkan teknologi Copernicus untuk menolong Indonesia menghadapi dampak akibat tsunami di Palu dan Donggala. Uni Eropa menyatakan pihaknya terus memantau perkembangan terbaru di Indonesia sejak tsunami melanda Selat Sunda pada Sabtu malam waktu setempat.

Anak Krakatau via Satelit 25th Dec 2018 the deformation of Anak Krakatau. (pict: ESA)

Para pakar di European Geosciences Union (EGU), juga menelaah bencana alam tsunami di Selat Sunda. Menurut EGU, Anak Krakatau berada dalam fase aktivitas yang menguat. Gambar yang ditangkap oleh Sentinel mengkonfirmasi bahwa 64 hektar bagian barat longsor ke laut dan peristiwa kolaps tersebut kemungkinan besar merupakan penyebab tsunami yang melanda pesisir Selat Sunda.

Pada tahun 2012, EGU telah menerbitkan sebuah studi tentang kemungkinan adanya keruntuhan Anak Krakatau dan mensimulasikan tsunami yang diprediksi bakal terjadi.

Kasus yang terjadi pada Anak Krakatau, dikatakan oleh EGU, sama seperti gunung Stromboli yang ada di Italia. Stromboli merupakan sebuah pulau kecil di Laut Tirrhenia, lepas pantai utara Sisilia, dan termasuk tiga gunung berapi terbesar di negara tersebut. Gempa vulkanik dan longsor Gunung Stromboli di Italia memicu gelombang setinggi 2 meter.

Science Direct pada 2015 bahkan melaporkan bahwa setiap 100 tahun atau lebih, ada peristiwa alam yang menghebohkan dunia, seperti runtuhnya Pulau Ritter tahun 1888 di mana 4,2 km kubik material menciptakan gelombang tsunami besar, dengan ketinggian hingga 4,5 meter di Rabaul, berjarak 540 km dari bibir pantai pulau.

Sementara itu, letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883 lampau, mendatangkan tsunami yang amat dahsyat ketimbang tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 (atau 21 Desember UTC).

Peristiwa ini, kata EGU, kemungkinan disebabkan oleh adanya kombinasi antara masuknya aliran piroklastik ke laut dan phreatomagmatisme, di mana bebatuan panas mengalirkan air laut ke uap yang mampu menghasilkan ledakan pada Amak Krakatau yang berada di kordinat 06°06′09.6″S – 105°25′21.9″E tersebut. (©2018 IndoCropCircles.com)



 

No comments:

Powered by Blogger.