Prasasti Mpu Sindok Ditemukan di Situs Gemekan, Apakah Isinya Kutukan?
Sebuah prasasti dari era Mpu Sindok ditemukan di Situs Gemekan, Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Prasasti ini ditemukan berkat hasil penggalian yang dilakukan tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur (BPCB Jatim) sejak tanggal 7 Februari hingga nantinya direncanakan berakhir pada 12 Februari 2022.
Keberadaan situs arkeologi tersebut sebenarnya telah diidentifikasi oleh warga sekitar sejak tahun 1980-an. Warga sekitar melihat adanya gundukan tanah yang tidak biasa di tempat tersebut yang tampaknya menutupi struktur bangunan batu tertentu dari masa lampau.
Pada 2016 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melakukan survei permukaan di gundukan tanah tersebut. Mereka masih menemukan adanya singkapan struktur di tempat itu.
Pada tahun 2018 BPCB Jatim melakukan ketigatan zonasi situs-situs yang ada di sekitar Kawasan Cagar Budaya (KCBN) Trowulan di Mojokerto. Mereka meberikan zonasi cagar budaya pada struktur di Situs Gemekan tersebut.
Kemudian, pada Februari 2022, ekskavasi dilakukan untuk menyingkap bentuk utuh struktur tersebut tersebut. "Dari hasil ekskavasi ini, kami menemukan struktur seperti kaki candi yang tangganya ada di sisi timur," tutur Muhammad Ichwan, arkeolog dari BPCB Jatim.
"Ketika kami membersihkan struktur tersebut, di sudut timur laut dari struktur tersebut kami mendapatkan prasasti yang terbuat dari batu andesit," ujar Ichwan yang memimpin tim ekskavasi tersebut kepada National Geographic Indonesia.
Berdasarkan hasil pengukuran Ichwan dan timnya, batu prasasti ini memiliki lebar 88 sentimeter, tinggi yang tersisa 91 sentimeter, dan tebal 21 sentimeter. Terdapat tulisan di empat sisi batu prasasti tersebut, yakni di sisi depan, belakang, samping kanan, dan samping kiri. Sisi bawah prasasti yang terpotong tampaknya datar, sedangkan sisi atasnya terlihat berbentuk runcing.
Ichwan meyakini batu prasasti yang mereka temukan ini tidak utuh, hanya bagian atasnya saja. Bagian bawah batu prasasti ini belum ditemukan.
Meski demikian, ada tulisan angka yang menandakan tahun pembuatan batu prasasti tersebut. Ada tiga angka dari penanda tahun tersebut yang setidaknya dua angka di depannya masih dapat jelas terbaca.
"Ada yang bisa membaca dan teman kami juga sempat membaca ada tulisan 85X Saka, itu sekitar 92X Masehi, itu masa Mpu Sindok. Tapi untuk isi selengkapnya nanti para ahli yang akan menelitinya," ucap Ichwan.
Mungkin angka ketiga adalah 2 yang berarti 852 Saka atau 930 Masehi. Atau bisa jadi angka ketiganya adalah 3 yang berarti 853 Saka atau 931 Masehi. Atau bisa jadi juga angka ketiganya adalah 9 yang berati 859 Saka atau 937 Masehi. Angka ketiga tahun tersebut belum bisa dipastikan karena agak rusak dan bentuk yang tersisa seperti membentuk angka 2, 3, atau 9.
Ichwan mengatakan bahwa BPCB akan mengundang epigraf atau ahli prasasti untuk menganalisisnya. "Kami juga akan membuat denah temuan struktur dan prasasti tersebut," katanya.
Ageng Gumelar Wicaksono, seorang pemerhati cagar budaya dan pembelajar bahasa Jawa kuno secara otodidak, mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa dia bisa membaca sebagian tulisan dari prasasti tersebut berdasarkan foto temuan prasasti yang dibagikan kepadanya. Sebagian tulisan di prasati tersebut masih jelas terbaca, bahkan dalam foto.
Menurut penjelasan Ageng, ada nama Mpu Sindok yang tertulis di prasasti tersebut. Bahkan menurutnya, tampaknya di prasasti itu tertulis nama lengkap Mpu Sindok, yakni Śrī Mahārāja Rake Hino Mpu Siṇḍok Śrī Īśānawikrama Dharmottuṅgadewa.
Mpu Sindok sendiri adalah raja terakhir dari dinasti Sanjaya yang memerintah Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah di abad ke-10 Masehi. Mpu Sindok diyakini memindahkan pusat kekuasaan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada tahun 929 Masehi, kemungkinan sebagai akibat dari letusan Gunung Merapi dan/atau invasi dari Sriwijaya.
Selain membaca nama Mpu Sindok, Ageng juga melihat tulisan di salah satu prasasti itu berisi kutukan. Narasi yang tertulis di salah satu sisi prasasti tersebut, menurut Ageng, adalah berikut: Tutuḥ tuṇḍanya blaḥ ka... sbittakan wtaŋnya ranta... wkasakan ḍalmanya ḍuḍu -n paṅan dagiŋnya inum... tĕhĕr pĕpĕjdakan wkasaka... nan tika yan parâ riṅ ala... -nni moŋ patukn iṅ ulā pūla... Ni dewamanyuḥ yan para ri tga... -lappan i glap sampalann iŋ rākṣa... paṅanann iŋ wuil si pamuṅuan [i]ndaḥ ta kita kamuŋ hyaŋ kuśika gargga metrī kuruṣya pātāñjala suwuk lor suwuk kidul kuluan wetā -n buaṅakan riṅ ākāśa salambittakan i hyaŋ kabaiḥ tibâkan ri mahāsamudra klammakan riŋ ḍawu[han] alapan saŋ hyaŋ dalammer dudu- tann i tuwiran saŋhabann i wuhaya ṅkanan matya ikanaŋṅwaŋ anyāya... ...mbur ikêŋ lmaḥ sawa...
Artinya kurang lebih adalah berikut: Potong muncungnya, belah ke[palanya], robek perutnya sisakan jeroannya....makan dagingnya minum (darahnya), lalu lengkapi dengan sisakan..... jika menuju hutan dimakan macan dipatuk ular pūla..... oleh dewamanyuh jika pergi ke tegal (lapangan terbuka) disambar petir dirobèk-robèk olèh raksasa dimakan olèh wuil si pramunguan. indahkan wahai kalian hyang kuśika garga metrī kuruṣya pātāñjala pelindung arah utara, pelindung selatan, barat, timur buang ke angkasa dirobèk olèh hyang semuanya jatuhkan ke mahāsamudra (lautan luas) tenggelamkan di ḍawu[han]/bendungan bawalah sang hyang dalam air tarik (dibawa ikut) olèh tuwiran, dicaplok olèh buaya.....matilah orang tersebut [dengan cara] dianiaya.... mbur tersebut di tanah sawa....
Titi Surti Nastiti, epigraf sekaligus arkeolog Puslit Arkenas, membenarkan bahwa prasasti tersebut berasal dari masa Mpu Sindok beradasarkan tulisan yang terukir di sana. "Saya baca ada angka 85..., dan nama Sindok. Jadi jelas dari masa Sindok," ujarnya saat National Geographic Indonesia menunjukkan foto penemuan prasasti tersebut.
"Mungkin 853 (Saka), tapi harus dapat foto yang jelas baru bisa yakin," tambah Titi.
Titi juga membenarkan bahwa tulisan di salah satu sisi prasasti tersebut berisi kutukan. "Bagian ini (salah satu sisi sampingnya) yang isinya tentang kutukan. Intinya kutukan itu ditujukan kepada orang-orang yang berani merusak prasasti."
Kutukan semacam itu "biasa ditemukan di prasasti-prasasti lainnya dengan kalimat yang hampir sama." Narasi kutukan semacam ini juga banyak dijumpai pada prasasti-prasasti dari masa sebelum Mpu Sindok. "Misalnya prasasti Rukam dari masa Balitung," sebut Titi memberi contoh.
Meski demikian, Titi menjelaskan, isi utama dari prasasti tersebut, yang tertulis di sisi depannya, tampaknya bukanlah kutukan. "Isi prasasti bukan kutukan, biasanya mengenai tanah yang dijadikan tanah perdikan untuk bangunan suci atau keperluan lainnya. Kutukan hanya bagian dari prasasti." Supaya tidak ada orang yang berani merusak prasasti tersebut.
Meski demikian, ia mengatakan, prasasti ini jelas merupakan penemuan yang penting. "Ini kan data primer soal sejarah di masa lalu. Ini data yang luar biasa. Sangat penting sekali bagi dunia sejarah. Prasasti ini menambah data historis arkeologi, melengkapi data-data sebelumnya."
Menurut Ichwan, prasasti ini juga penting karena berasal dari masa Mataram atau masa sebelum Majapahit (yang baru didirikan di akhir abad 13 Masehi) tapi ditemukan di wilayah ibu kota Majapahit di Jawa Timur. Selain itu, prasasti ini tampaknya juga bisa menjadi bukti fisik bahwa Mpu Sindok benar-benar telah memindahkan pusat kekuasaan kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi.
No comments: